Posted by: ocemadril | May 21, 2009

Perihal Wakil Presiden


suarapembaruan29lmPublished by Suara Pembaruan Newspaper on May 8, 2009

Oleh: Oce Madril

Konstelasi politik pascapemilu legislatif dan menjelang pemilu presiden berjalan sangat dinamis. Partai-partai politik bersiap memenangi pemilihan presiden dan wapres 2009. Hampir semua partai politik yang diperkirakan melewati parliamentary threshold, melakukan manuver penjajakan koalisi. Diperkirakan, hanya tiga pasangan calon yang berkompetisi pada Pilpres Juli mendatang.

Calon wakil presiden menjadi tema menarik, karena masing-masing capres sangat hati-hati memutuskan cawapresnya. Pada era multipartai ini, kalkulasi kekuatan politik yang dibawa oleh cawapres harus menjadi pertimbangan. Bahkan, menjadi salah satu pertimbangan utama, di samping kapabilitas, akseptabilitas, dan elektabilitasnya. Siapa cawapresnya bukanlah hal yang terlalu penting. Tapi, apa yang akan dilakukan oleh sang cawapres jika nantinya terpilih sebagai wapres jauh lebih penting untuk didiskusikan.

David B Rivkin dan Lee A Casey dalam analisisnya di The Washington Post (2007) mengemukakan, secara umum ada dua model tugas yang diperankan oleh wapres dalam sistem pemerintahan. Pertama, tugas administrasi, yaitu wapres berfungsi untuk membantu presiden dalam mengoordinasikan, menjalankan, dan mengevaluasi program kerja kabinet. Termasuk dalam fungsi ini, wapres terkadang ditunjuk sebagai kepala suatu badan administrasi pemerintahan atau suatu komisi negara. Kedua, tugas informal. Di Amerika Serikat, tugas informal biasanya berkaitan dengan relasi dengan parlemen. Wapres berfungsi sebagai liaison officer antara pemerintah dan parlemen.

Menurut Harun Alrasid (2001), tiga tugas wapres, yakni membantu presiden menjalankan tugas sehari-hari, menjalankan tugas presiden kalau presiden berhalangan, dan menggantikan presiden kalau jabatan presiden lowong.

Berdasarkan UUD 1945, wewenang wapres tidak diatur secara tegas. Dalam naskah asli UUD 1945 (sebelum perubahan) Pasal 4 ayat (2) dinyatakan: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Kemudian, Pasal 8 menyatakan: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.

Kedua ketentuan di atas tidak pernah disentuh pada masa amendemen UUD 1945. Rumusan tersebut tetap dipertahankan sampai sekarang. Sementara itu, pengaturan lebih lanjut terkait fungsi, kedudukan, dan wewenang wapres di tingkat peraturan perundang-undangan tidak tersedia.

Sebenarnya, pada 2001, pernah muncul inisiatif untuk menyusun RUU Lembaga Kepresidenan. Dalam draf RUU tersebut, paling tidak tugas dan wewenang wapres sudah lebih terperinci. Pasal 5 dan Pasal 6 menjelaskan, tugas wapres secara umum adalah membantu dan/atau mewakili tugas presiden di bidang kenegaraan dan pemerintahan. Dalam melaksanakan tugas di bidang pemerintahan, wapres berwenang: melaksanakan tugas teknis pemerintahan sehari-hari dan menyusun agenda kerja kabinet, serta menetapkan fokus atau prioritas kegiatan pemerintahan yang pelaksanaannya dipertanggungjawabkan kepada presiden. Namun, RUU yang sempat ramai dibicarakan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri tersebut sampai saat ini tidak jelas rimbanya.

Kesepakatan Politik

Kekosongan hukum tersebut memberikan peluang pembagian tugas presiden dan wapres ditentukan dengan kesepakatan politik. Sehingga, peran wapres selama ini hanya berdasarkan praktik pemerintahan yang berkembang pasang-surut dari masa ke masa.

Dalam sejarah pemerintahan, Indonesia punya 10 wapres, yakni Muhammad Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Sudharmono, Umar Wirahadikusumah, Try Sutrisno, BJ Habibie, Megawati, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla. Di antaranya, M. Hatta mempunyai peran yang berdampak luas dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia, yakni mengeluarkan dua maklumat.

Pertama, Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945 yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.

Pada masa Orde Baru, wapres boleh dikatakan “ban serep” dari Presiden Soeharto. Namun, ada sejumlah wapres yang mendapat tugas-tugas khusus melakukan pengawasan operasional pembangunan, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sudharmono. Kemudian, pascareformasi, pola hubungan presiden-wapres lebih banyak bernuansa konfik politik.

Jimly Asshiddiqie, memberikan penekanan pada pentingnya institusionalisasi lembaga kepresidenan. Bagi Jimly, presiden dan wapres merupakan sebuah institusi. Oleh karena itu, diperlukan perangkat peraturan sebagai instrumen pengaturan normatif mengenai institusi kepresidenan.

Menghidupkan kembali pembahasan RUU Lembaga Kepresidenan merupakan opsi terbaik bagi DPR ke depan. RUU ini pada prinsipnya harus menegaskan sistem presidensial. RUU ini harus mengisi kekosongan prinsip sistem presidensial dalam konstitusi, karena selama ini kadangkala terabaikan oleh kuatnya parlemen.

Ide demokrasi dan gagasan negara hukum haruslah diinstitusionalisasikan, sehingga setiap keputusan merupakan keputusan institusi yang tidak diserahkan hanya pada kebijaksanaan tokoh pemimpin yang kebetulan menduduki jabatan presiden dan wapres. Kesepakatan “di bawah tangan” antara presiden dan wapres tidak boleh lagi terjadi.

*) Penulis adalah Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Saat ini sedang menempuh Program Master di Nagoya University, Jepang


Leave a comment

Categories